Perubahan biokimia yang terjadi diawali dengan proses
glikolisis yakni perombakan glikogen menjadi asam laktat dan dilanjutkan dengan
proses maturasi (aging) ditandai dengan pengempukan pada otot sebagai akibat
kerja enzim pencerna protein. Proses glikolisis pascamerta ternak disebut pula
sebagai rigor mortis atau rigor (kekakuan) pascamerta. Perubahan biofisik yang
terjadi pada otot pascamerta adalah kehilangan ekstensibilitas otot pada saat
terjadi kekakuan dan pengempukan yang terjadi pasca kekakuan Pengaruh waktu
istirahat sebelum pemotongan sangat berpengaruh, karena kontaminasi pada karkas
dapat terjadi melalui tempat istirahat ternak sebelum pemotongan . Untuk itu
tempat istirahat tersebut perlu secara teratur dibersihkan dan didesinfektan.
Pemotongan merupakan suatu tahap yang penting dalam penyediaan daging tersebut.
Bagian-bagian
lain pada karkas yang mudah mengalami pembusukan harus dikeluarkan dari karkas seperti
spinal cord, arteri besar dan vena pada bagian leher. Viscera dan kepala
dibuang, karena kemungkinan terdapatnya hal-hal yang dapat mengakibatkan
bagian-bagian karkas menjadi tidak higienis atau membawa penyakit. Karkas yang
telah dibelah menjadi dua pada saat pengkarkasan, selanjutnya dibagi menjadi
empat bagian dengan masing-masing memotong dua bagian pada setiap belahan
karkas. Pembagian karkas menjadi potongan utama (whole cut) dan potongan detail
(retail cut). Pemotongan karkas di bagi menjadi 14 bagian, yaitu :
·
Enam
potong pada bagian belakang (potongan pistol) ; 1) filet, 2) sirloin, 3) rump,
4) topside, 5) inside, 6) silverside
·
Empat
potong pada kategori kedua ; 1) cube roll, 2) chuck, 3) chuck tender, 4) blade
·
Empat
potong pada kategori ketiga ; 1) rib meat, 2) brisket, 3) flank, 4) shank.
Pada saat ternak telah
mengalami kematian maka otot yang semasa hidup ternak disebut sebagai energi
mekanik dan energi kimiawi akan disebut sebagi energi kimiawi saja karena
setelah rigor mortis terbentuk maka akativitas kontraksi tidak tejadi lagi.
Sesaat setelah ternak mati maka sisa-sisa glikogen dan khususnya ATP yang
terbentuk menjelang ternak mati akan tetap digunakan untuk kontraksi otot
sampai ATP habis sama sekali dan pada saat itu akan terbentuk rigor mortis
ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel lagi). Produksi ATP dari glikogen melalui tiga jalur yakni:
1. Glikolisis; perombakan glikogen
menjadi asam laktat (produk akhir) atau melalui pembentukan terlebih dahulu
asam piruvat (dalam keadaan aerob) kemudian menjadi asam laktat (anaerob). Pada
kondisi ini akan terbentuk 3 mol ATP
2. Siklus asam trikarboksilat
(siklus krebs); sebagian asam piruvat hasil perombakan glikogen bersama produk
degradasi protein dan lemak akan masuk kedalam siklus asam trikarboksilat yang
menghasilkan CO2 dan atom H. Atom H kemudian masuk ke rantai transport elektron
dalam mitochondria untuk menghasilkan H2O serta 30 mol ATP.
3. Hasil glikolisis berupa atom H
secara aerob via rantai transport elektron dalam mitochondria bersama dengan O2
dari suplai darah akan menghasilkan H2O dan 4 mol ATP.
Dengan
demikian melalui tiga jalur ini glikogen otot pertama-tama dirubah menjadi
glukosa mono fosfat kemudian dirombak menjadi CO2 dan H2O
serta 37 mol ATP.
Fase Rigor Mortis Ada tiga fase
pada proses rigor mortis yakni fase prarigor, fase rigor mortis dan fase
pascarigor.
®
Perubahan
Fisik Pada Proses Rigor Mortis
Sesaat setelah ternak mati maka
kontraksi otot masih berlangsung sampai ATP habis dan aktomiosin terkunci
(irreversible). Otot menjadi kaku (kejang mayat) dan tidak ekstensible, pada
ssat ini tidak dibenarkan untuk memasak daging karena akan sangat terasa alot.
®
Perubahan
Fisik Pada Proses Rigor Mortis
Sesaat setelah ternak mati maka
kontraksi otot masih berlangsung sampai ATP habis dan aktomiosin terkunci
(irreversible). Otot menjadi kaku (kejang mayat) dan tidak ekstensible, pada
ssat ini tidak dibenarkan untuk memasak daging karena akan sangat terasa alot.
Perubahan Karakter Fisikokimia
Kekakuan
(kejang mayat) yang terjadi pada saat terbentuknya rigor mortis mengakibatkan
daging menjadi sangat alot dan disarnkan untuk tidak dikonsumsi. Pemendekan
otot dapat terjadi akibat otot yang masih prarigor (masih berkontraksi)
didinginkan pada suhu mendekati titik nol. Kejadian ini disebut sebagai cold
shortening dimana serat otot bisa memendek sampai 40% dan mengakibatkan otot
tersebut menjadi alot dan kehilangan banyak cairan pada saat dimasak . Pada
saat prarigor, otot masih dibenarkan untuk dikonsumsi sekalipun tingkat
keempukannya tidak sebaik jika dikonsumsi pada fase pascarigor. Ini
dimungkinkan karena adanya enzim Ca+2 dependence protease (CaDP) atau calpain
yang berperan sebagai enzim yang aktif bekerja mencerna protein jika ada ion
Ca+2 Ion ini diperoleh pada saat reticulum sarkoplasmik dipompa pascakontraksi
otot.
pH akhir otot menjadi asam akan
terjadi setelah rigor mortis terbentuk secara sempurna. Tapi kebanyakan yang
terjadi adalah rigor mortis sudah terbentuk tetapi pH otot masih diatas pH
akhior yang normal (pH>5.5 – 5.8). pH akhir otot yang tinggi pada saat rigor
mortis terbentuk memberikan sifat fungsional yang baik pada otot yang
dibutuhkan dalam pengolahan daging (bakso, sosis, nugget). Demikian pula pada
saat prarigor, dimana otot masih berkontraksi sangat baik digunakan dalam
pengolahan. pH asam akan mengakibatkan daya ikat air (water holding capacity)
akan menurun, sebaliknya ketika pH akhir tinggi akan memberikan daya ikat air
yang tinggi.
Denaturasi protein miofibriler
dapat terjadi pada pH otot dibawah titik isoelektrik mengakibatkan otot menjadi
pucat, berair dan strukturnya longgar (mudah terurai).
Warna daging menjadi merah
cerah pada saat pH mencapai pH akhir normal (5.5 – 5.8) pada saat terbentuknya
rigor mortis.
Domba
yang stress atau tidak diistirahatkan akan lebih cepat mengalami rigormortis
dibandingkan dengan domba yang diistirahatkan dengan cukup sebelumnya.
Post
rigor (aging) atau pelayuan :
Selama aging akan terjadi
perbaikan keempukan daging yang secara fisik diakibatkan oleh terjadinya
fragmentasi miofibriler akibat kerja enzim pencerna protein. Ada dua kelompok
enzim proteolitik yang berperan dalam proses pengempukan ini yakni calcium
dependence protease (CaDP) atau nama lainnya calpain (µ dan m-calpain) yang
intens bekerja pada saat prarigor dan kelompok cathepsin yang aktif bekerja
pada saat pascarigor.
I.
KESIMPULAN
Pada
praktikum ini dapat disimpulkan bahwa mutu maksimal yang diperoleh pada hasil
akhir daging, dipengaruhi oleh kenyamanan domba itu sendiri. Disarankan domba
tidak dibuat stress dan diberi istirahat yang cukup. Setelah itu di ikuti
dengan pengulitan yang di lakukan hati-hati agar tidak terdapat perlakuan
mekanis yang berlebihan, sehingga meghasilkan memar. Setelah itu dilakukan
dressing, sebagai upaya mengeluarkan bahan yang menyebabkan kebusukan cepat
berlangsung. Kemudian dibuat karkas.
Konversi
otot menjadi daging diawali pada saat ternak setelah mati dimana sejumlah
perubahan biokimia dan bifisk terjadi pada rangkaian kegiatan proses terbentuknya
rigor mortis dan dilanjutkan pada kegiatan pascarigor. Secara ilmiah otot baru
dapat dikatakn daging setelah melalui perubahan-perubahan biokimia dan biofisik
tersebut. Perubahan biokimia berupa proses glikolisis yakni perombakan glikogen
menjadi asam laktat yang akan mengakibatkan kekakuan otot dikenal sebagai
instalasi rigor mortis dan dilanjutakn dengan proses aging untuk memperbaiki
tingkat keempukan daging. Sejumlah perubahan biofisik yang terjadi selama
proses rigor mortis dan pasca rigor seperti perubahan-perubahan atribut yang
berkaitan dengan kualitas daging: warna, citarasa, bau, dan keempukan.
download makalah klik disini