BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
RSBI
1.
Sejarah Munculnya RSBI
Menurut
Dr. Indra Djati Sidi pemerintah Indonesia selalu berupaya untuk meningkatkan
mutu pendidikannya dengan berbagai cara agar bisa bersaing dengan negara-negara
lain. Ia menunjukkan statistik posisi mutu pendidikan dan indeks pembangunan
manusia negara Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain yang ternyata
masih di bawah. Hal ini mendorong upaya untuk mencari model dan sistem
pendidikan yang unggul untuk dipelajari untuk dapat dijadikan sebagai model
pengembangan mutu pendidikan sekolah Indonesia sendiri.
Dari
sini kemudian muncul ide bahwa Indonesia harus melakukan sesuatu untuk
memperbaiki mutu pendidikannya. “Peningkatan
mutu dan kompetensi harus dilakukan”, kata Dr Indra, “.... dan jika belum bisa dilakukan pada semua sekolah maka kita harus
lakukan pada beberapa sekolah dulu karena kita tidak memiliki dana yang besar
untuk melakukan pada semua sekolah. Sekolah-sekolah Indonesia yang memiliki
kompetensi setara dengan sekolah-sekolah asing ini haruslah dapat diakses oleh
semua golongan. Prinsipnya, sekolah indonesia bermutu internasional ini
haruslah berdaya saing dan dapat diakses oleh semua siswa. Selain itu sekolah
RSBI ini haruslah menekankan pada nasionalisme dan pembangunan karakter,” lanjutnya.
Hingga,
pada tahun 2009 Direktorat PSMP Depdiknas telah membina 302 Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional (RSBI) dan 1.858 Sekolah Standar Nasional (SSN) yang
tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Sebagai Sekolah Bertaraf
Internasional tentu siswanya bukan hanya berasal dari Warga Negara Indonesia
saja tetapi boleh juga berasal dari Warga Negara Asing.
2.
Konsep RSBI di Indonesia
Salah satu upaya untuk menyelenggarakan pendidikan
yang bermutu sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 50 Ayat 3,
yakni pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya
satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi
sekolah yang bertaraf internasional.
Sekolah Bertaraf
Internasional (SBI) adalah sekolah
yang sudah memenuhi seluruh Standar
Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada standar
pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation and
Development (OECD) dan atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan
tertentu dalam bidang pendidikan sehingga lulusannya memiliki mutu atau kualitas
yang tidak hanya bertaraf nasional tetapi juga bertaraf internasional.
SNP adalah Standar Nasional Pendidikan yang terdiri atas
delapan komponen utama sesuai dengan Peraturan
Pemerintah No 19 tahun 2005, sedangkan keinternasionalan dicirikan dengan
kompetensi internasional (lulusannya), kurikulum bertaraf internasional,
pembelajaran bilingual, sarana sesuai dengan kebutuhan kurikulum internasional,
pembiayaan, penilaian menggunakan standar internasional, pengelolaan, dan
memenuhi standar ISO 9001.
Ada dua cara yang dapat dilakukan sekolah ataupun madrasah
untuk memenuhi konsep SBI dengan
landasan adaptasi dan adopsi, yaitu:
1.
Sekolah yang
telah melaksanakan dan memenuhi delapan unsur SNP (standar kompetensi lulusan,
isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, dana,
pengelolaan, dan penilaian) sebagai indikator kinerja minimal.
2.
Adanya unsur penguatan,
pengayaan, pengembangan, perluasan, dan pendalaman terhadap standar pendidikan
sebagai indikator kinerja kunci tambahan.
B.
Komersialisasi
Pendidikan
Komersialisasi
pendidikan bukan merupakan kata-kata baru. Terutama di kalangan aktivis yang
bergerak di bidang pendidikan. Komersialisasi pendidikan merupakan hal yang
sudah kompleks dan mengakar. Sehingga, penyelesaiannya saat ini pun hanya
terkesan sebagai sebuah awang-awang saja. Langkah konkret yang sebenarnya telah
matang, dimentahkan kembali oleh para pelaku-pelaku pendidikan.
Arti singkat dari komesialisasi itu sendiri, yaitu
kegiatan menjadikan segala sesuatu sebagai barang dagangan. Bahkan suatu
hal yang sebenarnya tidak pantas menjadi barang dagangan sekalipun, baik
berkaitan dengan hajat hidup rakyat banyak, atau yang memang tidak layak untuk
diperdagangkan. Dagangan disini memiliki kata dasar dagang, yang dalam arti
yang sempit biasa diartikan sebagai kegiatan menjual sesuatu untuk mencari
keuntungan.
Komersialisasi
pendidikan, bisa diartikan dengan memperdagangkan pendidikan. Mencari
keuntungan melalui pendidikan. Bahkan, diartikan juga menjadikan pendidikan
sebagai komoditas perdagangan, lengkap dengan segala serba-serbi yang ada di
dalamnya. Mencari keuntungan melalui pendidikan sebenarnya tidak sepenuhnya
bisa dipersalahkan. Tapi, kenyataan saat ini komoditas pendidikan mulai
diminati banyak orang.
Terkadang, komersialisasi ini berjalan
tanpa kita sadari. Alasan yang diberikan oleh pelaku komersialisasi pendidikan
bermacam-macam. Dan yang sangat berbahaya adalah terdengar sangat masuk akal
bagi yang menuntut kejelasan.
BAB III
PEMBAHASAN
1.
Komersialisasi
Pendidikan dalam RSBI
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yaitu
sekolah yang diperuntukkan untuk orang-orang kaya itu. Lembaga pendidikan yang dikomersialisasikan
oleh orang-orang yang haus dengan uang. Sekolah yang akan dijadikan showroom
kendaraan, pentas gaya hidup mewah. Katanya lagi, RSBI untuk kompetisi siswa
yang pintar-pintar saja, benarkah? Kalau benar RSBI untuk siswa yang pintar
saja, kenapa orang kaya yang mendominasi?
Sebagian besar siswa RSBI dari kalangan kaya
dikarenakan biaya masuk untuk SMP dan SMA RSBI yang relatif mahal, berkisar Rp
15 juta dan uang sekolah sekitar Rp 450.000 per bulan. Di sisi lain, alokasi 20
% untuk siswa miskin yang mendapat beasiswa juga tidak dipenuhi RSBI. Dari
kajian sementara juga terungkap, dana yang dimiliki RSBI sekitar 50 %
dialokasikan untuk sarana dan prasarana, sekitar 20 % untuk pengembangan dan
kesejahteraan guru, serta manajemen sekolah berkisar 10%.
Mengenai kualitas RSBI banyak yang meragukannya.
Masyarakat biasa sampai doktor dan professor menyatakan tidak percaya dengan
kualitas RSBI itu sendiri. RSBI hanya sebatas nama untuk mencari keuntungan
materi dan menghisap darah orang-orang miskin yang terperangkap. RSBI tidak
lebih dari sekadar mengeruk keuntungan bagi pengelola sekolah RSBI, baik pihak
Diknas maupun jajaran pejabat sekolah, memberi cap sekolahnya termasuk
institusi pendidikan bertaraf internasional membuka dua peluang keuntungan sekaligus.
Pertama, anggaran fasilitas plus-plus dari APBD, dan kedua pembiayaan yang
melangit dari kantong-kantong orang tua siswa. Intinya keberadaan RSBI
menyesakkan dada kita dan menimbulkan kesenjangan sosial yang sangat jauh dari
nilai pendidikan itu sendiri.
Selain itu pemerintah, sampai hari ini belum
memiliki kurikulum baku untuk RSBI versi Indonesia itu. Mendiknas baru
berkeinginan membeli kurikulum asing yang bakal didistribusikan kepada
sekolah-sekolah dengan kualifikasi RSBI. Sebab selama ini beberapa RSBI yang
agak “serius” telah melakukan praktik jual-beli kurikulum berlisensi asing.
Sedangkan bagi sekolah-sekolah dengan kualifikasi
RSBI namun masih setengah hati, mereka hanya melakukan tambal sulam kurikulum
dengan ciri menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya. Tapi dari
keseluruhan materi yang diajarkan nyaris tidak memiliki perbedaan apa pun
dibandingan dengan sekolah non-RSBI alias sekolah biasa.
Pemerintah beralasan keberadaan RSBI guna melahirkan
siswa yang berkualitas Internasional, mampu menguasai bahasa asing dan
teknologi. untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia sebagai jawaban dari
era globalisasi dan upaya bangsa Indonesia untuk dapat bersaing secara internasional.
Pertanyaanya: mengapa harus RSBI? Apakah
tanpa RSBI bahasa Internasional Inggris dan Arab tidak bisa diterapkan sebagai
bahasa pengantar? Apakah tanpa RSBI teknologi informasi tidak bisa dimasukkan
ke dalam kurikulum? Kenapa fasilitas multimedia menjadi tidak cocok diterapkan
di semua sekolah nasional tanpa RSBI?
Selain itu, pendidikan yang merupakan kewajiban
Negara dalam rangka mencerdaskan bangsa justru berubah menjadi kewajiban orang
tua karena pembiayaan di RSBI yang saat ini sedang digugat oleh masyarakat
Indonesia lebih 60 % di tanggung oleh masyarakat sendiri. Yang akhirnya menjadi
komoditi pasar. Ini memperlihatkan betapa pemerintah lepas tangan dalam hal
pembiayaan pendidikan. Lagi-lagi akan memperkuat alasan masyarakat bahwa RSBI
tidak lain hanya sebuah manipulasi pendidikan yang harus dilawan.
Banyak orang tua murid dari kelas reguler,
mengeluhkan banyaknya “tagihan” dari sekolah yang dibebankan kepada mereka
untuk menyokong kelas internasional yang jumlahnya tidaklah sedikit untuk
berbagai fasilitas tambahan seperti toilet, kolam renang, kebersihan,
penghijauan, AC, dan biaya yang lainnya.
dikarenakan adanya perubahan status sekolah menjadi RSBI. Namun, aliran dana
itu tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Anak-anak masih sering kepanasan di kelas karena AC
tidak dinyalakan. Dan sejak AC tersebut dipasang ternyata AC tidak pernah
dicuci. Padahal itu ada di perincian tagihan. Tidak berhenti di situ, di
sekolah itu juga pernah ada intimidasi demi mendapatkan sokongan dana. Kondisi
itu tentunya menciptakan ketakutan tersendiri bagi masyarakat kelas bawah untuk
menyekolahkan anak mereka di sekolah dengan embel RSBI, meskipun secara
akademik si anak mampu masuk ke sekolah tersebut.
2.
Dampak
Dari Komersialisasi Pendidikan
Apa dampaknya komersialisasi pendidikan? Bagi kaum
ber-duit tidak masalah. Karena uang yang dikeluarkan bisa bak mengeluarkan
secara langsung dari ATM. Tapi, yang perlu diingat adalah bahwa tidak semua
masyarakat Indonesia adalah orang yang kaya. Sebagian besar penduduk Indonesia
adalah masyarakat menengah kebawah. Ini artinya, ketika komersialisasi
pendidikan semakin merajalela, kesempatan belajar bagi masyarakat menengah
kebawah akan semakin terenggut. Dan ini artinya telah merenggut hak asasi
manusia untuk memperoleh pengajaran dan pendidikan. Biaya pendidikan semakin
tak terjangkau. Dan yang muncul di kemudian hari adalah masyarakat miskin hanya
dapat menikmati pendidikan yang ecek-ecek atau kurang bermutu. Atau bahkan bisa
masuk ke fakultas yang bermutu di universitas yang amat baik pula, tapi
kuliahnya harus mogol karena tidak kuat membeli buku, perlengkapan kuliah, dan
kebutuhan-kebutuhan sekunder kuliahnya.
Berikut adalah beberapa dampak dari komersialisasi
pendidikan:
1.
Dapat
mendatangkan hama yang dapat membuat bangsa garuda tidak dapat menikmati
pendidikan dan memperoleh pengajaran yang seharusnya menjadi haknya.
2.
Merebaknya
kultur instan di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang makin abai terhadap
nilai-nilai kesalehan hidup. Sikap apresiatif terhadap nilai-nilai kebenaran,
kejujuran, dan keuletan dinilai mulai mengalami proses pembusukan.
Ironisnya, masyarakat sudah menganggap fenomena
semacam itu sebagai sebuah kejadian yang wajar sehingga tak terlalu penting
untuk dipersoalkan.
3.
Kekeliruan dalam
menafsirkan makna otonomi sekolah yang sejak beberapa tahun terakhir menggejala
dalam dunia persekolahan.
Dengan dalih untuk menjalin kemitraan dalam menggali
dana institusi, sebuah seolah seolah-olah dianggap sah apabila melakukan
berbagai cara untuk mengembangkan institusi, termasuk dengan melakukan
komersialisasi pendidikan. Padahal, sejatinya, otonomi sekolah mesti dimaknai
sebagai upaya untuk memberdayakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu di
sekolah yang bersangkutan, baik dari sisi akademik maupun nonakademiknya.
Namun, diakui atau tidak, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Bukannya
budaya mutu yang dikembangkan di sekolah, melainkan budaya “petak umpet” untuk
mendapatkan berbagai macam keuntungan berkedok otonomi sekolah.
4.
Dampak paling
berbahaya yang ditimbulkan oleh praktik komersialisasi pendidikan adalah tumbuh
suburnya budaya korupsi, kolusi, dan manipulasi (KKN).
Ibarat dalam dunia bisnis, setiap rupiah yang
dikeluarkan harus menghasilkan keuntungan. Sejumlah uang yang dikeluarkan oleh
orang tua diharapkan akan mendatangkan kemudahan dalam mencari pekerjaan atau kedudukan.
Imbasnya, ketika menjadi pejabat atau pengambil kebijakan, kelak mereka akan
selalu menghubung-hubungkan antara uang yang telah dikeluarkan untuk menimba
ilmu dan jaminan kesejahteraan yang akan diterimanya. Jika gaji dirasakan belum
cukup untuk mengembalikan uang pelicin untuk mendapatkan bangku pendidikan,
mereka tak segan-segan untuk mengambil keuntungan dengan berbagai macam cara.
Oleh karena itu, sebelum telanjur negeri ini menjadi
“Republik Korupsi”, ada baiknya sekolah kembali difungsikan perannya sebagai
agen perubahan sehingga pelan tetapi pasti akan lahir generasi-generasi yang
jujur dan luhur budi. Negeri kita amat membutuhkan generasi-generasi yang
mengharamkan KKN dalam menjalankan hidup dan kehidupannya. Dan itu sebenarnya
bisa dimulai ketika mereka masih duduk di bangku pendidikan. Gagasan tentang
gerakan “sekolah bebeas korupsi” hendaknya menjadi agenda penting yang perlu
dilaksanakan sejak pendaftaran siswa baru dimulai hingga akhirnya kelak mereka
selesai menimba ilmu.
Para pengambil kebijakan sudah saatnya turun tangan
untuk menindak tegas terhadap sekolah-sekolah yang baik dengan dengan sengaja
maupun tidak menjadikan momentum PSB sebagai upaya untuk mengkomersialisasikan
pendidikan. Orang tua pun berhak untuk menolak apabila ada upaya dari sekolah
tertentu untuk mengambil keuntungan. Apalagi di tingkat pendidikan dasar
pemerintah sudah memberikan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk
kegiatan operasional di sekolah. Itu artinya, penarikan dana dari orang tua
(masyarakat)jangan sampai terlalu membebani yang bisa mengakibatkan anak-anak
berotak cemerlang tidak mampu mengembangkan potensi dan talentanya secara utuh
dan paripurna.
3.
Kaitan
Komersialisasi Pendidikan SBI dengan Hukum
·
Landasan Yuridis pada Program SBI :
1)
Undang-undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 50 ayat (2) dan
(3).
a)
Ayat (2):
Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk
menjamin mutu pendidikan nasional
b)
Ayat (3):
Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu
satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi
satuan pendidikan yang bertaraf-internasional
2)
Undang-undang
Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun
2005 s.d 2025
3)
Peraturan
Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 61
ayat (1), yaitu; Pemerintah bersama-sama Pemerintah Daerah menyelenggarakan
sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan
sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan menengah untuk
dikembangkan menjadi sekolah bertaraf-internasional.
4)
Peraturan
Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
5)
Peraturan
Pemerintah Nomor 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan.
6)
Dalam pasal 2
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 diuraikan dengan jelas bahwa
pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat; sedang pada ayat (2) dijelaskan bahwa
masyarakat yang dimaksud adalah meliputi:
a)
penyelenggara
atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat,
b)
peserta didik, orangtua
atau wali peserta didik,
c)
pihak-pihak lain
yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
Pengertian
pada pasal 2 ini merupakan pengaturan lebih lanjut daripada Bab XIII pasal 46
ayat (1) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yang intinya adalah bahwa pendanaan pendidikan merupakan
tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerahdanmasyarakat.
7)
Peraturan
pemerintan no 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan.
8)
Rencana
Strategis Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2005 s.d 2009 menyatakan bahwa
untuk meningkatkan daya saing bangsa, perlu dikembangkan Sekolah Bertaraf
Internasional pada tingkat kabupaten/kota melalui kerjasama yang konsisten
antara Pemerintah dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
9)
Kebijakan
Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2007 tentang Pedoman Penjaminan Mutu
Sekolah/Madrasah Beraraf Internasional pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah.
10)
Permendiknas
Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi (SI) untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah; Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan
(SKL) untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; Permendiknas Nomor 24 Tahun
2006 Tentang Pelaksanaan Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah.
11)
Permendiknas
Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah; Permendiknas Nomor
12 tahun 2007 Tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah; Permendiknas Nomor 16
tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Guru;
Permendiknas Nomor 18 tahun 2007 Tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan;
Permendiknas Nomor 19 tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan;
Permendiknas Nomor 20 tahun 2007 Tentang Standar Penilaian Pendidikan;
Permendiknas Nomor 24 tahun 2007 Tentang Standar Sarana Dan Prasarana;
Permendiknas Nomor 41 tahun 2007-TentangStandarProses.
12)
Permendiknas
Nomor 78 tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional Pada
Jenjang Pendidikan Dasar Dan Menengah.
Komersialisasi Pendidikan dengan BHMN dan BHP Dalam
UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 53, lembaga
pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah dan masyarakat harus berbentuk
Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dalam pasal 47 ayat 2 dinyatakan bahwa sumber
pendanaan pendidikan adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan
masyarakat. Menurut pasal 49 ayat 3, pendanaan pendidikan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah kepada lembaga pendidikan diberikan dalam bentuk hibah.
Bagaimana peran masyarakat dinyatakan oleh pasal 54 ayat 2, yakni masyarakat
memiliki peran sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna. Adapun yang dimaksud
dengan masyarakat dijelaskan oleh pasal 54 ayat 1 yaitu individu, kelompok,
keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan.
Lalu bagaimana dengan nasib RSBI itu sendiri?
Perlukah dan bagaimanakah seharusnya RSBI itu agar dapat berjalan dengan
semestinya tanpa berbenturan dengan sila ke-5 kita “Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”? Agar sejalan juga dengan UUD tahun 1945 pada pasal
31 ayat 1 yang menjamin tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan
dan ayat 4 dimana Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional yang kesemuanya itu bertujuan untuk mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa –
sesuai dengan ayat 3.
download makalah click here